Oleh Much. Khoiri
Bayangkan betapa dahsyatnya andaikata Gajah Mada telah menulis memoar pribadi. Sekarang pun dia dianggap pahlawan dan simbol patriotisme di negeri ini. Namanya mengabadi pada Universitas Gadjah Mada, sumpahnya melekat pada Satelit Palapa.
Sungguh, kitab Nagarakretagama telah mengukir jasa dan Pararaton merekam Sumpah Palapa-nya. Catatan sejarah telah menginspirasi ribuan atau jutaan orang yang bertebaran di berbagai pelosok negeri. Gajah Mada telah melegenda di dalam buku sejarah, dan di hati bangsa ini.

Gadjah Mada: Gambar: https://www.kompasiana.com/thamrindahlan
Namun, andaikata Gajah Mada menulis memoar, pasti lebih banyak fakta dan pengalaman yang dia abadikan—mulai masa kecilnya di desa Mada, meniti karir sebagai prajurit, menjadi komandan bhayangkara (pasukan elit kerajaan), hingga menjabat mahapatih (perdana menteri) untuk Tribhuanatunggadewi (Kencana Wungu) dan Hayam Wuruk.
Dalam Nagarakretagama tersurat bahwa dia sempat tersangka atas wafatnya raja Jayanegara. Namun, andaikata dia menulis memoar, memoar itu akan bersaksi bahwa Rakrian Tanca (tabib kaki-tangan Rakrian Kuti) yang telah membunuh Jayanegara—dengan berpura-pura melakukan operasi. Gajah Mada tidak bersalah.
Semua itu akhirnya terbukti, Rakrian Kuti pernah merebut Majapahit dari Jayanegara pada 1328. Justru Gajah Mada dan patih Arya Tadah yang menyelamatkan Jayanegara. Bahkan mereka berdualah yang mengembalikan Jayanegara ke tahtanya. Becik ketitik ala ketara, terbuktilah siapa yang baik dan siapa yang jahat.
Menjadi mahapatih, menggantikan Arya Tadah yang pensiun, setahun setelah Tribhuwanatunggadewi naik tahta, tentu sebuah pengalaman luar biasa. Banyak strategi yang harus dirumuskan dan ditetapkan. Termasuk menjelang momentum Sumpah Palapa, semua pasti lewat perencanaan matang. Namun, semuanya tanpa jejak—karena tidak tertulis (dalam memoarnya).
Untuk semua itu, Gajah Mada pastilah orang sakti. Mustahil di masa itu orang yang tak sakti bisa menjabat mahapatih, terlebih begitu “arogan” (lewat Sumpah Palapa) akan menaklukkan berbagai wilayah lain ke pangkuan Majapahit. Andaikata ada memoarnya, kita mungkin bisa menelisik bagaimana dia melatih kanuragan, menjaga kesaktian, melakukan ritual semedi, menjamas keris pusaka, dan sebagainya.
Selain menumpas pemberontakan Ra Kuti, Gajah Mada juga berhasil memadamkan Sadeng dan Keta. Tak secuil pun kata bijak, petuah atau catatan pribadi yang merekam pikiran dan tindakan Gajah Mada dalam berbagai tugas berat tersebut. Sebaliknya, karena tak ada memoar, tak pernah diketahui jumlah prajurit yang bertempur atau gugur—termasuk jumlah tabib, kereta, kuda, meriam, bahan makanan, dan sebagainya.
Lebih dari itu, dalam mewujudkan Sumpah Palapa, perjuangan pun panjang dan berliku. Amat menarik andaikata ada memoar Gajah Mada semasa Tribhuwanatunggadewi, saat merebut Bedahulu (Bali), Lombok, Temasik (Negeri Singapura), Negeri Melayu (Jambi), dan Kalimantan. Temasik sendiri meliputi (kini): Malaysia, Brunei, Philipine Selatan, dan Timor Timur.
Betapa luas wilayah taklukan Majapahit saat itu. Bayangkan berapa pasukan dikerahkan, bagaimana rupa kapal perangnya, atau bagaimana prajurit dianugerahi bintang jasa. Meski demikian, kita hanya mampu membayangkan dengan samar karena memang tiada acuan apa pun untuk membayangkan. Andaikata ada memoar, ceritanya pastilah berbeda.
Sementara itu, di masa Hayam Wuruk (1450-1389), memoar Gajah Mada akan merekam setiap jam penaklukan tlatah ujung timur—Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Pasti banyak kisah heroik dan patriotik yang menyertainya.
Singkatnya, andaikata Gajah Mada menulis memoar, hal-hal yang sifatnya personal, sosial, dan politis bisa dikaji dan dipetik inspirasinya. Itu jauh lebih lengkap daripada penggal-penggal kisah hidupnya yang didistorsi ke dalam kalimat-kalimat buku sejarah, termasuk di dalam Nagarakretagama atau Pararaton.
Ya, andaikata Gajah Mada menulis memoar, kita bisa mengkaji impian-impiannya, strategi meraih impian, dan sikapnya saat impian diraih. Bahkan, yang lebih kecil, kita bisa menelisik bagaimana kehidupan pribadinya—kebiasaan dia sehari-hari sebagai manusia. Manusia biasa, yang punya banyak keistimewaan.
Gajah Mada juga manusia—sama dengan Plato, Aristoteles, dan para filsuf Athena (Yunani). Bedanya, filsuf-filsuf menuliskan apa yang dialami dan direnungkan, sedangkan Gajah Mada tidak. Karena tak ada buku memoar, kita tak bisa mendalami dan mengambil inspirasi dari pemikiran Gajah Mada. Hebatnya Gajah Mada tak bisa kita warisi.
Inilah mutiara hikmahnya. Semua yang orang pikirkan, rasakan, alami dan cita-citakan akan lenyap, kecuali dituliskan. Andaikata Gajah Mada menulis memoar, kita pastilah bisa berguru berbagai ilmu padanya—dan kita bisa menjadi para murid Gajah Mada dari masa ke masa.**
#Dosen, blogger, penulis buku #Menulis dalam kesibukan #Unesajaya
N.B. Terima kasih untuk blogwalking.
Betapa penting dan dahsyatnya fungsi menulis. Menulis apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi sekalipun… Sebagai refleksi dan resolusi kan… Matur sembah nuwun Master… Inspired…
Noted. Nuwun
Yah. Andai Nabi Muhammad saw tidak mempunyai penulis handal Zaid bin Tsabit, dan juga periwayat hadis lain, sejarah tidak akan terkodifikasukan dengan baik.
Tentunya budaya Arab pada masa itu lebih maju daripada Nusantara.
Padahal kisah Rasulullah lebih jauh berabad dari pada kisah Gajahmada ya. Luar biasa keduanya sangat menginspirasi, menyalakan spirit ke agamaan dan spirit kebangsaan.
Meski memoar tak langsung dari tangan Sang Mahapatih, namun setidaknya tetap ada jejak langkah nya di bumi Nusantara. Mungkin beliau dulu tidak sempat berpikir untuk menulis karena saking sibuknya menyusun strategi menaklukkan Nusantara untuk Majapahit.
Terimakasih Pak Dosen, menjadikan pikiran kita terbuka untuk menulis.
Malasih b Ari. Sehat selalu
Inspirasi baru utl ditulis, P Usdhof
Uraian luar biasa
Matur nuwun, mas doktor
Semoga menjadi motivasi untuk terus menulis
Insyaallah begitu, p Refan
Поиск в гугле