WANITA, TAS, DAN IDENTITAS

Oleh MUCH. KHOIRI (Dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)

Inilah saatnya saya mengajak Anda untuk menelisik adakah hubungan tertentu antara wanita, tas, dan identitas? Tidak diragukan lagi: Ada! Wanita sangat dekat tak terpisahkan dengan tas, sementara tas itu merepresentasikan identitas pemakainya.

Saking dekatnya, di mana ada wanita, di situ pula ada tasnya. Dalam perspektif Eksistensialisme, kehadiran tas itu membuat wanita eksis alias ada. Ibaratnya, “Aku pakai tas ini, maka aku ada.” Hampir tak pernah didapati wanita datang ke suatu acara tanpa terlihat tas di tangan. Apapun isinya, tas itu wajib ‘ain adanya.

Dalam perspektif Eksistensialisme, kehadiran tas itu membuat wanita eksis alias ada. Ibaratnya, “Aku pakai tas ini, maka aku ada.”

Lalu, bagaimana tas menunjukkan identitas pemakainya? Itu ketika individu pemakai dan komunitas (atau masyarakat) menganggap bahwa tas itu simbol prestise, sombol status, dan simbol gaya hidup. Saat membeli tas, seakan dia telah membeli prestise, status, dan simbol itu sendiri; sedangkan fungsi dasarnya diabaikan dan tidak penting lagi.

Gambar: Antara.news

Simbol-simbol prestise, status, dan gaya hidup bertebaran di mal-mal atau pasar modern. Mal sendiri simbol modernitas. Karena itu, marketer memasang aitem-aitem nya di mal dan bukan di pasar tradisional. Mereka paham, kastamer kelas sosial tertentu akan berbelanja tas di pasar yang “pantas” dan “pas” guna memuaskan hasrat konsumtifnya. Malu dong harus menawar harga barang seperti terjadi  di pasar tradisional. Gak level, tau ga sih?

Dengan berbelanja tas di mal besar yang prestisius, wanita ini sedang mengidentifikasi diri pada identitas personal dan sosial sedang atau tinggi. Singkatnya, bukan orang sembarangan. Jika wanita itu mengenakan tas Hermes, dengan harga 1,5 milyar misalnya, dia menilai dirinya sebagai orang berduit dan wah. Orang lain  pun tidak mengecapnya miskin atau kampungan ketika dia mengenakan tas merek Louve Paris, London Berry, Alibi,Gatsuone, Lexalin, Philipe Jourdan, Leno, Dilvarrie, Gucci, dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, jika ada wanita mengenakan tas non-branded, segera ketahuan bahwa dia bukan wanita yang cukup kaya dan punya selera. Selera juga bisa menjadi penanda status, bukan? Lalu, apakah reaksi sesama wanita yang hadir dalam acara di mana ada wanita berpenampilan sederhana dengan tas tangan yang “murahan”? Sssst! Jangan keras-keras. Mereka asyik menggosip, ngrasani atau menggunjingnya di belakang panggung. Tak jarang mereka melancarkan bullying.

Memang, secara spiritual sebaik-baik manusia di mata Tuhan karena takwanya, namun secara fisikal wanita bisa dianggap berharga karena berbagai kategori tas cukup mahal miliknya

Memang, secara spiritual sebaik-baik manusia di mata Tuhan karena takwanya, namun secara fisikal wanita bisa dianggap berharga karena berbagai kategori tas cukup mahal miliknya: dompet unik, clutches, tote bags, shoulder bag, hand bags, saling bags, backpacks, satchel bags, serta aitem lain. Yang tidak pakai barang branded, minggir sajalah sejenak.

Ingat, dalam komodifikasi budaya oleh industri budaya secara masif, plus dukungan media yang tanpa henti, si artifisial bisa lebih dipuja ketimbang alamiah, profan bisa lebih memikat ketimbang sakral, kecantikan fisik lebih dipilih ketimbang inner beauty, dan tas (kelihatan) bermerek ketimbang tas tembakan (produk industri rumah). Realitas semu berjaya laksana penguasa.

Maka, ke manakah kita perlu berguru lagi, untuk menjawab pertanyaan: setelah kepuasan tercapai dengan terpenuhinya hasrat memakai tas branded, lalu keinginan apa lagi selanjutnya? Identitas apa lagi yang hendak diperjuangkan? Saya curiga, hasrat konsumtif ibarat minum air laut, semakin banyak meminumnya, manusia semakin kehausan, tanpa kepuasan di dalamnya.[]

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

2 thoughts on “WANITA, TAS, DAN IDENTITAS”

  1. Daswatia Astuty says:

    Ini tulisan semoga dibaca para wanita penghamba “branded”
    Jadi tahu betapa tidak rasionalnya dan buruknya lakon yg di”gila” kan
    Hehehe pesona dunia suka diluar nalar manusia.

    1. Much Khoiri says:

      Mudah2an begitu. Menyentuh dasar kesadaran yang mereka miliki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *