Oleh: Much. Khoiri
Ada dua pertanyaan dari salah satu mahasiswa 2020-B, yang versi sederhananya berikut ini: Pertama, apa saja yang perlu ditargetkan oleh seorang sastrawan sebelum membuat dan mempublish karya seninya? Kedua, apakah hak cipta karya sastra lisan yang menyebar dari mulut ke mulut itu dapat dilindungi oleh undang-undang?
Sebenarnya, pertanyaan nomor 1 kurang jelas bagi saya, hanya samar-samar, sebab target sastrawan pastilah bermacam-macam. Apakah target pembaca, apakah target karya, apakah target penyelesaian, target penerbitan, ataukah target apa? Namun, saya akan coba paparkan secara ringkas.
Jika yang dimaksud adalah target pembaca, saya tegaskan bahwa setiap sastrawan memiliki target pembaca bagi karya yang dikreasikan. Ini namanya segmentasi audiens atau pembaca. Sastrawan pastilah sadar bahwa karya yang hendak ditulis itu untuk pembaca yang mana? Apakah karyanya untuk masyarakat dewasa, remaja atau anak-anak dengan latar pendidikan tertentu? Ini dasar psikologis untuk memudahkan sastrawan “berkomunikasi” lewat karya dengan pembaca.
Target karya demikian pula. Sastrawan pastilah memiliki target karya seperti apakah yang ingin dihasilkannya. Jika karya itu novel, sastrawan pasti tahu novel genre apa yang diyakininya akan dibaca oleh pembaca. Jika itu puisi, sastrawan juga yakin puisi genre apakah yang akan bisa mengakrabi pembaca. Demikian pula jika karya itu drama dengan genre targedi, komedi, atau tragikomedi.
Apakah mereka memiliki target penyelesaian? Tentu saja! Sastrawan, sebagaimana penulis umumnya, memiliki target capaian dan target waktu. Mereka setidaknya memperkirakan kapan akan menyelesaikan bab tertentu. Kenyataannya, apakah mereka menyelesaikan karyanya sesuai target atau tidak, itu perkara lain. Proses kreatif memang sangat unik, dan sastrawan menjalaninya dengan segenap hati. Andaikata target awal meleset, sastrawan akan menyusun target baru.
Kemudian, target penerbitan. Amat boleh jadi ada sastrawan yang ingin menerbitkan karyanya di penerbit mayor, ada juga yang mentarget penerbit minor (indie publishing). Pemilihan penerbit tentu saja penting bagi sastrawan. Jika dia memiliki jaringan luas dan karyanya bagus, serta memiliki dana produksi, dia akan berani ambil indie publishing. Namun, jika dia tidak mau repot-repot mengurus produksi dan pemasaran, dia akan memilih penerbit mayor seperti Gramedia, Mizan, dan sebagainya.
Ringkasnya, ada aneka target yang dipasang oleh setiap sastrawan. Namun, saya yakin ada sebuah kesamaan, bahwa setiap sastrawan ingin bahwa karyanya dibaca luas oleh masyarakat. Tentu, agar pesan yang disampaikan bisa mencapai sasaran pembaca. Bukankah sastrawan itu mengkomunikasikan gagasannya kepada publik lewat karya yang dikreasikannya? Sadar atau tidak, mereka memanggul fungsi sastra—seperti kata Horace—dulce et utile, fungsi estetika yang menghibur dan fungsi didaktik yang mendidik.
***
Sekarang, pertanyaan kedua: apakah hak cipta karya sastra lisan yang menyebar dari mulut ke mulut itu dapat dilindungi oleh undang-undang? Ini pertanyaan bagus, dan layak diberikan jawaban berikut ini.
Saya kira sastra lisan sulit dilindungi oleh undang-undang hak cipta, karena tidak ada bukti otentik siapa yang telah menciptakannya. Tembang “Ilir-Ilir” yang terkenal itu, ada yang menganggap sebagai karya Sunan Kalijaga, ada juga yang mengklaim sebagai karya Sunan Giri. Sepertinya, dulu santri-santri kedua wali tahu tembang itu dilantunkan oleh beliau-beliau saat memberikan pengajian atau wejangan. Namun, belum ada bukti atau penelitian yang meyakinkan siapa yang telah menciptakan.
Karena itu, entah kapan tradisi baru itu dimulai, yakni karya-karya sastra lisan akhirnya didiktekan menjadi sastra tulis oleh generasi berikutnya. Cerita-cerita rakyat (folktale, folkore) Amerika, Afrika, dan sebagainya akhirnya ditemukan dalam wujud karya tertulisnya untuk mengabadikan karya-karya leluhur mereka. Selain itu, karya sastra lisan juga direkam ke dalam bentuk video clip atau sejenisnya. Fenomena ini juga sudah terjadi di negeri ini.
Lalu, ketika karya sastra lisan sudah diabadikan ke dalam rekaman atau sastra tertulis, barulah didaftarkan hak cipta atau hak karya intelektualnya. Hak cipta atau hak karya intelektual inilah stempel sah bagi sebuah karya sastra atau karya kreatif lainnya (ada ISBN untuk buku, ada pula HaKI untuk karya jenis lain). Nah, kalau sudah begini, karya itu baru memiliki kekuatan di depan hukum alias dilindungi oleh undang-undang.[]
Kabede, 21/02/2021
N.B. Terima kasih atas tanggapan dan link tulisan/alamat website/blog Anda untuk dikunjungi.
Terima kasih banyak pak atas tulisan dan jawabannya, tulisan bapak diatas, telah sangat menjawab pertanyaan saya beberapa waktu lalu. 🙂
Oke, sama2 ya, Yoga. Semoga terus bersemangat dlm belajar sastra
Terimakasih pak, atas tulisannya. Banyak hal yang dapat dipelajari sebagai anak sastra disini🙏
Terimakasih bapak atas tulisannya. Banyak hal yang dapat dipelajari sebagai anak sastra disini🙏
Terima kasih bapak atas tulisannya. Banyak hal yang dapat dipelajari sebagai anak sastra disini.
Oke, Angelina, terima kasih atas tanggapannya.
levitra para durar mas After menopause, as the ovaries stop making estrogen from androstenedione, some production continues in other tissues, with DHEA as the primary precursor of androgens that are ultimately converted to estrogen
Mechanism of action of furosemide propecia shampoo Different women have different theories on hpts and decidual bleeding