Oleh: Much. Khoiri
JUDUL tulisan ini tidak main-main alias serius! Dalam pemahaman saya, setan (alias jin tak baik hati) pun menyesuaikan diri dengan peradaban manusia. Di dalam masyarakat dengan peradaban maju, setan juga tampil mengikuti kemajuan itu. Jika masyarakat itu tradisional, setan juga “macak” tradisional. Bukan sebaliknya.
Mengapa demikian? Dalam konsistensinya menjunjung sumpah dan dendam kesumat, sekaligus mendapat izin Tuhan, setan akan menggoda manusia kapan pun dan dengan aneka cara apa pun selagi bisa (QS 17: 64; QS 22: 52; QS 4: 119; QS 7: 16-17). Termasuk di dalamnya adalah memvisualisasikan (baca: mewujudkan) diri dalam bentuk yang ditakuti oleh manusia. Jika manusia takut pada wujud tertentu, itulah peluang emas bagi setan untuk mewujudkan dirinya menjadi “sesuatu” sosok menakutkan itu. Andaikata manusia takut pada bayang-bayang, di sanalah setan beraksi menggoda.
Memang rasa takut manusia selalu sama di mana-mana, namun sumber rasa takut tentulah berbeda. Tingkat kemajuan berperadaban juga memengaruhi sumber rasa takut bagi manusia itu. Bagaimana menyikapi mistisisme tentang wujud-wujud yang menakutkan juga berbeda antara manusia maju dan manusia kurang maju. Demikian pun bagaimana menyikapi rasa takut. Manusia maju lebih rasional daripada manusia kurang maju.
Sebagian masyarakat Indonesia, dengan tingkat peradaban transisional (menuju maju), masih ada yang percaya adanya takhayul, mistik, dan animisme. Santet, teluh, atau gendam masih “dilestarikan” di sebagian masyarakat kita. Masyarakat biasanya takut dengan suasana-suasana mistis dan mencekam, terlebih di tempat-tempat yang senyap dan terpencil (dan malam hari) semisal kuburan, rumah tua atau belantara. Ada “dunia lain” di sana.
Itulah mengapa di Indonesia setan menciptakan ketakutan bagi masyarakat dengan visualisasi dirinya ke dalam bentuk yang menakutkan: pocong, genderuwo, wewe gombel, sundel bolong, kerangka, dan sebagainya. Setan “macak” wujud tradisional semacam itu karena sebagian masyarakat kita masih berbudaya tradisional yang masih lekat dengan mistisisme atau takhayul. Tentu, agar yang manusia digodanya menjadi takut dan terkencing-kencing di tempat berdiri. Bagi setan itu sebuah prestasi yang bagus, yakni membuat orang takut kepada selain Allah.
Tentu saja, perwujudan pocong, genderuwo, sundel bolong, dan sebagainya tidak pernah ditemukan di negeri-negeri maju. Setan di sana mengambil wujud yang lain, percayalah. Di Eropa setan mewujud drakula, di Amerika setan pakai topeng Thanksgiving Day. Di China setan pun macak vampir ala pasukan perang. Demikian pun setan yang hendak menggoda masyarakat Finlandia, Jerman, Belanda, dan sebagainya: Masyarakat setan juga macak bentuk visual yang menakutkan mereka.
Coba bayangkan jika setan-setan itu bertukar wilayah operasional penggodaan, pastilah mereka akan kikuk juga. Misalnya pocong atau genderuwo pindah ke Inggris dan drakula boyong ke Indonesia. Mereka pastilah kurang luwes menggoda karena orang Inggris tak pernah tahu pocong dan orang Indonesia tak pernah tahu drakula—kecuali lewat media atau bahan bacaan. Orang Indonesia atau orang Inggris mungkin tiada rasa takut oleh perwujudan yang “asing” itu.
Setidaknya pada saat dia tergoda oleh perwujudan asing, mereka bukannya takut, melainkan terpana, bengong, atau terheran-heran karenanya. Setidaknya mereka akan bertanya-tanya dalam hati siapakah sosok yang sedang berada di depan mata. Dalam habitus masing-masing, tidak ada pikiran bahwa wujud tertentu yang menakutkan itu ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Itu sosok asing yang tak perlu ditakuti.
Sementara itu, di Indonesia sendiri pun, sepertinya ada dikotomi setan kota (metropolis) dan setan desa. (Maaf, jangan protes jika istilahnya kurang pas). Wujud-wujud menakutkan tidak lagi lazim berada di kota-kota besar, namun masih beraksi di pedesaan. Dengan kemajuan peradaban orang kota, mereka lebih rasional sehingga rasa takut tidak serta merta muncul sebelum ada bukti. Maka, setan pun tidak harus menjadi wujud seperti pocong atau sundel bolong. Hal ini tentu berbeda dengan yang ada di pedesaan, pegunungan, atau area terpencil.
Kendati demikian, jangan terlena. Setan pun bisa mewujud sesuatu atau sesosok yang tidak menakutkan. Ia malah menyenangkan dan menyejukkan mata, bahkan. Ia bisa menyatu dengan siapa pun dan apa pun yang kita ganderungi dan idamkan setiap waktu. Sementara kita khilaf bahwa di balik keterlenaan itu adalah pintu awal kejatuhan dan kehancuran kita. Ingat, setan mendapat izin untuk menggoda manusia dengan cara apa pun juga. Selagi bisa, target setan adalah ketertundukan manusia padanya.
Waspadalah, setan pun bisa merasuki (kadang dengan mudah) teman kita, saudara kita, tetangga kita, atasan kita, atau bawahan kita. Mungkin ia merasuki kekasih kita atau bahkan diri kita sendiri yang kita cintai lebih dari siapa pun dan apa pun. Entah lewat “pintu” mana saja setan itu merasuk. Maka, mari selalu berlindung pada Allah atas segala godaan dan “kejahatan dari jin dan manusia” yang terkutuk. Jangan sampai kita ketularan menjadi setan yang berwujud manusia.[]
N.B. Jangan lupa memberi tanggapan. Terima kasih
Perwujudan setan di setiap daerah dan negara sangat beragam. Saya jadi penasaran hal apa sajakah yang menjadikan manusia percaya terhadap berbagai rupa setan yang kurang menarik untuk dilihat? Apakah karena pengaruh mitologi dan kepercayaan orang jaman dahulu? Terima kasih atas tulisan kali ini, pak. Sehat selalu~
Syani, mengapa orang percaya terhadap berbagai rupa setan yang tidak menarik dilihat? Itu bukan kepercayaan zaman dulu, lha zaman peradaban Islam pun juga selalu mengingatkan kpd kita bahwa “Tiada Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Dari ayat ini jelas, ada makhluk sebelum manusia, yakni jin. Jadi jin itu lebih tua usianya dibanding manusia. Mau tak mau manusia kadang ya bisa ketemu dengan mereka.