Oleh MUCH. KHOIRI
JUDUL di atas diangkat dari pemikiran bahwa Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai rasul yang ummi—tidak bisa membaca dan menulis. Pemikiran ini, dalam konteks kekinian, tentu tidak rasional, bahkan aneh. Bagaimana mungkin seorang nabi dan rasul tidak mampu membaca dan menulis? Bagaimana menyebarkan fatwanya kepada umat jika tidak menguasai dua kemahiran bahasa ini?
Namun, itulah faktanya. Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW lahir di dalam masyarakat ummi, yang dikonotasikan sebagai buta baca dan tulis, akibat kekuatan menghafalnya luar biasa. Kaum ummi mampu menghafalkan ratusan syair dan silsilah nasab mereka dengan sangat baik. Sementara itu, beliau merupakan rasul dari golongan mereka—artinya kaum ummi tersebut, bukan dari golongan kaum lain.
Kala itu kemampuan membaca-menulis bisa dianggap sebuah aib yang menunjukkan lemahnya daya hafal orang tersebut. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon, “Mohon jangan beritahu siapa pun, karena kemampuan-menulis bagi kami adalah aib.” Ini menunjukkan betapa budaya hafalan lebih tinggi tingkatannya dari pada membaca-menulis.
Selain itu, dalam hadis riwayat Imam Bukhari, saat malaikat Jibril berkata, “Bacalah!”, Nabi menjawab secara spontan, “Aku tidak bisa membaca.” Malaikat Jibril kembali berkata, “Bacalah!” Nabi menjawab dengan jawaban yang sama, sampai ketiga kalinya. Malaikat Jibril pun membacakan surat al-Alaq ayat 1-5. Pada peristiwa ini, ayat Alquran pertama kali muncul dan Muhammad diangkat menjadi Rasul. Peristiwa ini mutawatir!
Dengan demikian, ke-ummi-an Nabi SAW benar adanya. Namun, ke-ummi-an itu bukanlah cela dan aib, melainkan suatu keutamaan beliau bersama masyarakatnya. Sekaligus, dari kaca mata kekinian, ke-ummi-an beliau ternyata sangat ampuh untuk menangkal tuduhan bahwa beliau telah mengarang kitab suci Alquran. Dalam pemahaman para penuduh, mana mungkin seorang tak bisa baca-tulis bisa menyusun kitab setebal itu?
***
Kemudian, apakah Nabi Muhammad SAW tidak literat? Mengapa ini saya kemukakan, sebab dalam berbagai literatur modern, apa yang disebut literat banyak diacukan ke kemahiran atau kemampuan membaca dan menulis—kendati hal ini sebenarnya sebuah pemaknaan yang telah disempitkan.
Setidaknya, dalam praktiknya, literasi banyak dipahami sepadan dengan membaca dan menulis. Ini bisa dimaklumi ketika untuk menularkannya kepada generasi penerus, kedua keterampilan bahasa inilah yang mudah diajarkan atau diturunkan. Setidaknya, pembudayaan kedua keterampilan ini terukur karena senantiasa terdeteksi oleh dan terfasilitasi dengan teks-teks.
Untuk memahami pertanyaan di atas, tentu lebih baik kita kembali ke makna literasi yang sesungguhnya—yakni literasi dalam arti luas. Dalam aras ini, literasi bukan hanya mengacu ke kemahiran membaca dan menulis, melainkan kemahiran untuk menerima informasi, memahami, mengolahnya, dan meresponsnya untuk berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan apa yang dipahaminya.
Sebagai ilustrasi, ketika orang berkendara menjumpai tanda lalu lintas, ia membaca dan memahami apa arti lampu hijau, kuning, dan merah; lalu dia menjalankan kendaraannya ketika lampu hijau menyala, siap-siap berhenti atau siap berjalan ketika lampu kuning menyala, dan berhenti ketika lampu merah menyala. Orang ini orang literat dalam perlalulintasan.
Orang itu juga seorang literat jika ia antre ketika membeli minuman di swalayan, ketika masuk gedung pertunjukan, atau ketika mengurus paspor di kantor imigrasi. Jika ia tidak melaksanakan tindakan-tindakan ini, atau sebagaimana tidak taat lampu lintas, maka ia tergolong orang yang tidak literat. Ia termasuk iliterat.
Bisa digarisbawahi, orang yang literat itu orang yang melek hidup. Luas cakupannya. Orang yang literat itu mampu memahami berbagai aspek hidup dengan sangat baik, menyikapinya dengan baik, dan bertindak dengan sangat baik pula. Bisa dikatakan bahwa semakin multi-talenta seseorang, semakin tinggi pula tingkat literasinya.
***
Dalam kerangka makna demikian, bisa dikatakan bahwa mustahil Nabi Muhammad SAW itu tidak literat. Memang benar bahwa beliau ummi, tidak bisa membaca-menulis (sesuatu yang justru menunjukkan kelebihan dan keutamaan beliau); namun, tentulah gegabah jika beliau dianggap tidak literat. Sebaliknya, justru beliau seorang teladan manusia literat dan teladan pembudayaan literasi.
Mengapa demikian, tak dimungkiri, beliau sangat melek hidup. Beliau mampu memahami berbagai aspek hidup dengan baik, menyikapinya dengan baik, dan bertindak dengan baik pula. Allah telah menganugerahkan kepintaran dan kebijakan yang luar biasa, serta kemuliaan yang indah—bahkan apa pun yang dikatakan dan dilakukan sejalan dengan syariah. Ibaratnya, beliau adalah Alquran yang berjalan.
Semua ini tercermin dari dua film dan satu buku yang saya nikmati seputar maulud Nabi tahun ini. Saya membaca buku Lentera Kehidupan: Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW (Tim FKI Sejarah ATSAR, 2015) yang setebah 640 halaman—meski belum kelar semuanya. Saya menonton film “Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad SAW” (Kamis 29/10/2020) dan film “Masa Kecil Nabi Muhammad SAW” (Jumat, 30/10/2020). Karya-karya inilah yang mendasari saya untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia paripurna, yang melek hidup.
Selain itu, beliau juga selalu memberikan keteladanan—sebuah prasyarat penting yang harus dipenuhi dalam pembudayaan literasi dewasa ini. Sudah digariskan bahwa beliau diutus memang untuk menyempurnakan akhlak kaumnya agar menjadi mulia. Selain itu, beliau juga disebut menjadi rahmatan lil ‘aalamiin, rahmat bagi sekalian alam. Keteladanan beliau bukan sekadar ucapan, melainkan juga tindakan nyata. Beliau itu satunya kata dan perbuatan.
Dalam beribadah, tak diragukan lagi, beliau adalah teladan yang harus dicontoh oleh siapa pun para pengikutnya. Kalau berzikir, dada beliau seakan bergemuruh akibat intensitasnya berzikir—itu mencontohkan agar zikir harus dilakukan sepenuh kalbu, penuh kekhusyukan. Demikian pun ketika shalat, beliau mencontohkan seluruh gerakan dan bacaan shalat, dengan sangat tertib—termasuk doa-doa yang dipanjatkan. Bahkan, dalam perang pun beliau selalu tampil di depan.
Dalam mendidik, sebagai seorang ummi, beliau merupakan pendidik yang luar biasa dan indah keteladanannya. Hal ini diungkapkan oleh Dr. M. Syafii Antonio dalam bukunya Muhammad SAW The Super Leader Manager, yang menuliskan 20 metode dan teknik pengajaran sebagai “holistic learning methods”. Di antaranya: learning conditioning, active interaction, applied learning, scanning dan levelling, discussion and feedback, storytelling, analogy and case-study, teaching and motivating, body language, picture and graph technology, reasoning and argumentation, self-reflection, dan sebagainya.
Singkat kata, pemikiran, perkataan dan perbuatan beliau adalah teladan-teladan yang luar biasa indahnya. Kita bisa membacanya di dalam hadis-hadis beliau. Semuanya memang bukan tulisan beliau, sebagaimana beliau juga tidak menulis Alquran, melainkan tulisan para perawi (periwayat) hadis yang masyhur. Inilah keluarbiasaan beliau. Pemikiran, perkataan, dan perbuatan beliau diabadikan ke dalam buku (hadis)—pegangan bagi umat Islam, di samping kitab suci Alquran.
Maka, tak diragukan lagi, beliau itu manusia yang sangat literat. Berbagai keistimewaan manusia melekat pada beliau—bukan hanya dalam dimensi spiritual dan pemikiran, melainkan juga dimensi ucapan dan tindakan. Beliau teladan manusia literat dan teladan pembudayaan literasi bagi masyarakatnya. Nah, pertanyaannya, kapankah kita meneladani beliau?[]
Invert the vial finasteride 1 mg buy uk
Some potentially serious side effects include what does propecia do Alternatively, combinations of compounds of formula I or I with platinum agents, taxol, taxotere, gemcitabine, pemetrexed, mitomycin, ifosfamide, vinorelbine, erlotinib and bevacizumab or combinations of compounds of formula I or I with carboplatin and taxol or cisplatin and gemcitabine are particularly suitable for treating Non Small cell lung cancer
prednisone 5mg cost: http://prednisone1st.store/# buy prednisone canada