Oleh MUCH. KHOIRI
TIDAK mudah mendefinisikan “hidup sederhana”. Namun, saya mencoba memaknainya dengan hidup sesuai kebutuhan minimum dan kemampuan memenuhinya—serta tidak berlebihan. Jika orang mampu memenuhi kebutuhan jauh di atas kebutuhan minimum, dan dia mengharuskan diri untuk memuaskannya, apalagi berlebihan, dia bersikap hidup mewah. Sebaliknya, jika kebutuhan minimum saja tidak terpenuhi, akibat kemampuan rendah, orang itu tidak sederhana tetapi miskin.
Jika orang memiliki kemampuan tinggi, namun dia suka hidup dengan kebutuhan minimal dan jauh dari berlebihan, inilah sikap hidup sederhana. Sebaliknya, dia memiliki kemampuan rendah, namun dia suka hidup dengan kebutuhan maksimum, itu dia sedang bersikap sok mewah. Besar pasak dari pada tiang. Dia hanya hidup dalam halusinasi, realitas semu, dan kebahagiaan ilutif.
Agama menyilakan kita untuk memakan rizki yang diberikan Allah, namun jangan berlebihan. Apa ukurannya? Rasulullah SAW menggambarkan dengan bijaksana, bahwa perut manusia selayaknya terisi dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiganya ruang udara. Jika makan dan minum melebihi porsinya, maka hanya sedikit ruang untuk udara, sehingga sesaklah dadanya. Sebaliknya, jika orang kekurangan makan-minum, perutnya kosong, didominasi udara, maka masuk anginlah dia.

Setia batik sederhana di Ceko (2019). Sumber gambar: Dok pribadi
Secukupnya dan fungsional. Inilah kata kunci pentingnya dari hidup sederhana. Secukupnya itu sesuai kebutuhan (need), tidak berlebihan baik kuantitas maupun kualitas. Fungsional itu berarti benar-benar menitikberatkan fungsi dari sesuatu dalam memenuhi kebutuhan. Sementara, orang yang bernafsu untuk memenuhi keinginan (wish) yang tak terbatas, itu bukan ranah fungsional lagi.
Mengapa hidup sederhana sebagai pilihan ini perlu diingatkan? Ya, karena, disadari atau tidak, kita hidup dalam ekstasi akan gaya, di mana masyarakat kebanyakan telah menganggap bahwa citraan (imej) lebih penting dari pada fungsi dan realitas dan penampilan lebih penting dari pada moralitas, kemasan lebih penting dari pada wujud aslinya. Kita juga kerap menjalani kenikmatan semu, kebahagiaan ilutif, keindahan halusinatif, dan daya tarik pseudorasional.
Mengapa masyarakat bisa menganggap demikian? Sebab, masyarakat telah dikonstruksi oleh kekuatan ekonomi (yang hemegomik) untuk menjadi masyarakat komoditas (commodity society)—apa pun bisa menjadi komoditas, termasuk artefak-artefak budaya remeh pun. Lebih dari itu, gaya hidup telah dipermak sedemikian untuk menjadi komoditas, dan akhirnya semua itu didaur ulang menjadi gaya hidup.
Ada ketidaksadaran yang disadari dan tidak disadari, dan di antaranya selalu terhembus nilai-nilai baru yang belum ada sebelumnya, sehingga hadirlah kesadaran baru, yang hanya mementingkan imej dari pada fungsi dan realitas, lebih mengedepankan permukaan, penampilan, penampakan, hura-hura, hiburan, permainan tanda-tanda tanpa kedalaman dan tak mengacu realitas.
Karena masyarakat komoditas sedang ber-“ekstasi gaya hidup” seperti itu, maka mereka seakan hidup di dalam mimpi, ilusi, khayali, fantasi, halusinasi estetika akan realitas. Kakinya masih berpijak di bumi, namun hasrat kepemilikan akan sesuatu sudah melampaui kewajaran (beyond the standard), jiwanya seakan tercerabut dan terbang ke awan.
Sebutlah kredit kendaraan. Kini, kredit mobil hanya dengan uang muka 15-20 juta. Mau beli tunai, malah dipersulit, dipandang aneh. Iklan berseliweran setiap detik lewat berbagai media. Orang-orang tak mempedulikan apakah mobil itu akan dikredit atau ditunai. Bahkan, ada yang menganggap bahwea semua mobil adalah kreditan. Ini nilai-nilai baru, dan mengkonstruksi kesadaran baru. Ya, kesadaran baru bahwa kredit mobil pun sah, toh kalau sudah disetir, tak seorang pun peduli apakah mobil itu kreditan atau mobil bayar tunai.
Maka, nekadlah si dia untuk mengkredit mobil itu, sebutlah dengan uang muka 20 juta. Saat mobil dibawa pulang, dia sejatinya mulai masuk ke dunia mimpi, ilusi, khayali, fantasi; sebab, dalam kondisi normal, dia tidak akan bisa membeli mobil dan menikmati empuk joknya. Yang diinginkan (bukan dibutuhkan) adalah gaya hidup, imej, penampilan, penampakan yang tampak wah—bukan sekadar fungsi dan realitas bahwa dirinya seharusnya hanya naik sepeda motor atau sepeda pancal.
Sesungguhnya, dia sedang menjalani kenikmatan semu, kebahagiaan ilutif, keindahan halusinatif, dan daya tarik pseudorasional. Tidak sebenar-benar nikmat, tidak sebenar-benar bahagia. Hal ini tampak ketika masa membayar uang angsuran atau biaya perawatan di bengkel (non-asuransi) yang terasa berat baginya. Pada titik ini kesadaran menjadi manusia normal hadir lagi, hingga akhirnya, dengan berbagai perjuangan dia bisa membayar semuanya, dan kembali bermobil sehari-hari. “Kesadaran baru” sebagai manusia keren ibarat kacang lupa akan kulitnya.
Analog kendaraan pribadi, kebutuhan konsumtif lain juga demikian. Ngemal (pergi ke mal) menjadi sarana untuk melegitimasi (semu) status sosial atau sosioekonomi. Dia lebih suka membeli baju di mal, meski baju yang sama bisa diperoleh di semi-tradisional dengan harga 50%-70%. Mereka lebih suka gengsi, prestise, penampilan dan sejenisnya. Dia menjadi korban kondisi sosiobudaya yang—kata Milan Kundera—termasuk imagologi.
Maka, hanya yang waras nalarnya saja yang selamat dari imperialism budaya, atau imperialism media (yang penuh iklan), dan imperialism kesadaran. Setidaknya, tidak terseret terlampau jauh ke dalam lingkaran “zaman edan” semacam itu. Siapa mereka? Dalam istilah “Serat Kalatidha” karya Ranggawarsita, mereka adalah yang tetap ingat (eling) dan waspada (waspada) di dalam masyarakat yang mengalami ekstasi gaya hidup.
Mereka itu adalah orang yang memandang untuk kembali ke fungsi dan realitas sesungguhnya dari apa yang mereka butuhkan di dalam hidup ini. Meski bisa beli mobil 10 unit sekali pun, dia hanya membeli dua unit misalnya, sebab dia dan keluarga memang hanya membutuhkan dua mobil itu. Merekalah orang yang mampu menjalani hidup sederhana, sejalan hanya dengan kebutuhan dan bukan keinginan, tidak mementingkan citraan (imej) dari pada substansi realitas.
Jadi, hidup sederhana itu masalah sikap. Yakni, sikap untuk menolak gaya hidup wah, sok milyuner, sok keren, berlebihan, dan sebagainya. Sikap hidup sederhana justru memposisikan manusia sebagai manusia hakikat, yang tidak silau dengan gebyar, glamor, dan kenikmatan atau kebahagiaan sesaat. Terlebih jika kemampuan untuk memenuhinya di bawah kapasitas dan kemampuan dirinya, maka perlu untuk menyikapinya secara tegas: Menolak!
Mari kembali ke hidup sederhana! Tentu, agar kita memperoleh keberkahan, dan menjadi manusia biasa yang lebih memihak pada substansi, fungsi, dan realitas. Hidup sederhana akan menyamankan dan mendamaikan kita. Tidak perlu menumpuk harta bagi yang mampu, dan tidak perlu berkhayal tingkat dewa hanya untuk memperoleh kesadaran palsu, keindahan halusinatif, kenikmatan semu, dan kebahagiaan ilutif, dan. Toh semua itu kelak tidak kita bawa mati, dari tiada kembali ke tiada.[]
Tulisan bapak sangat menarik sekali. Lagi dan lagi mengingatkan saya untuk tidak larut dalam gaya hidup hedonisme. Karena ketika akan membeli barang baru terkadang saya lupa apakah saya benar-benar membutuhkannya atau hanya lapar mata saja.
Terima kasih atas remindernya pak^^
Istilahnya menarik, Nadia. Lapar mata. Jangan2 ada lapar hati juga hehehe
Kesekian kalinya takjub dengan tulisan Bapak. Saya sangat menyadari betapa pentingnya untuk memberi batasan gaya hidup sesuai dengan sisi materialistis dan prioritas kebutuhan hidup. Segalanya harus seimbang dan mencukupi agar terhindar dari keindahan halusinatif untuk bergaya hidup mewah menyesuaikan dengan standar sosial. Terima kasih banyak atas ilmunya, pak.
Syani, tulisan itu salah satu contoh bgm saya menerapkan konsep budaya pop utk menganalisis fenomena sosial. Di sini ada pilihan antara hidup sederhana dan hidup mewah dlm kerumuman tanda gaya hidup yg “bukan kita”.
Tulisan yang sangat inspiratif, Pak. Terima kasih telah mengingatkan agar hidup sesuai “porsi” & tidak berlebihan. Semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur.
Aaamiinx100. Makasih, Ami. Salam sehat